Evaluasi Pemilu Untuk PKS

Pemilu 9 April 2009 mungkin akan menjadi kenangan yang kurang mengenakkan bagi Partai Keadilan Sejahtera. Target perolehan suara yang membumbung tinggi hingga mencapai 20% hanya menjadi isapan jempol semata. Melalui perhitungan cepat, perolehan suara PKS bahkan tidak sampai setengahnya. Meski bertahan pada posisi 7-8%, hampir sama dengan perolehan suara pemilu 2004, perolehan suara kali ini sungguh sangat mengecewakan. DPP sangat percaya diri suara PKS bisa menembus 2 digit hingga angka 13%, namun hal ini dianggap sangat tidak realistis. Kedigdayaan Partai Demokrat yang melibas perolehan suara partai-partai besar lainnya harus dengan tangan terbuka diakui juga oleh PKS.
Partai Keadilah Sejahtera adalah sebuah Partai yang lahir dari rahim Jamaah Tarbiyah. Sebuah jamaah eksklusif yang menjadikan Ikhwanul Muslimin dibawah pimpinan Hasan Al Banna sebagai panutan dan Uswah. Partai Keadilan Sejahtera mengklaim sebagai sebuah partai dakwah. Partai dalam hal ini adalah ijtihad politik untuk memudahkan jalan dakwah. Keberadaan PKS adalah suatu fenomena, setidaknya ini diakui oleh pengamat politik Indonesia, Kevin Evans. PKS dianggap sebagai salah satu Partai Islam yang paling bersinar. Dari hanya memperoleh kurang dari 2% pada awal kemunculannya ditahun 1999 merangsek hingga mencapai 7,5%.

Melejitnya suara PKS hingga lebih dari 300 kali lipat menambah optimisme dan euforia para ponggawa partai ini untuk mentargekan 20% suara pada pemilu 2009. Dengan 20% suara, PKS akan mencalonkan presiden dari partainya sendiri. Jelas, strategi yang dilakukan adalah menjangkau masa mengambang diluar kadernya. Untuk hal itu, PKS yang awalnya tertutup merubah platform kampanye politiknya untuk menjadi lebih terbuka, menerima semua golongan dan bersedia membuka komunikasi politik dengan partai apapun dan golongan manapun. Miliaran rupiah uang kader digelontorkan untuk kampanye keterbukaan ini. PKS mulai menampilkan parade iklan yang lebih terbuka dan menggelitik bahkan terkadang kontroversial. Perubahan platform kampanye ini dipimpin langsung oleh sang Sekjen, Ust Anis Matta.

Pertanyaannya adalah” Apakah usaha ini berhasil?” Jika perhitungannya adalah penyampaian informasi, mungkin masyarakat mulai menyadari bahwa PKS tidak seekslusif itu. PKS bukanlah hanya diisi orang-orang berjenggot yang tidak bersalaman dengan wanita atau wanitanya yang berjubah rapat bak Ninja. Namun dalam alam demokrasi, informasi terkadang menjadi kurang penting jika efeknya tidak membuat pemilih terpengaruh untuk memilih partai tersebut. “Democracy is majority rule”. PKS gagal menambah perolehan suaranya. Alibi lain yang digunakan sang Sekjen untuk menutupi kegagalan ini adalah, DPT yang semrawut. Banyak pemilih PKS yang tidak terdaftar. Kalau ini alasannya, sandi mawon dengan partai lain. PKS tidak kuat menghadapi gempuran Partai Demokrat yang digawangi oleh incumbent, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kurang berpengaruhnya suara PKS, jika tidak ingin mengatakan sebuah kegagalan, pada pemilu kali ini banyak mengundang suara-suara miring dikalangan para kader. Keberanian PKS untuk mengubah platformnya dalam berkampanye menuai protes cukup keras. PKS dianggap telah keluar dari platform politiknya. PKS bahkan dianggap telah keluar dari khittahnya sebagai partai dakwah. Animo untuk menaikkan rating elektabilitas melunturkan dan melenturkan tujuan semula, berdakwah. Isu yang berkembang PKS terpecah menjadi Faksi keadilan dan Faksi Kesejahteraan. Satu faksi menghendaki PKS bertahan seperti semula, kembali ke khittahnya sebagai partai dakwah eksklusif. Pihak lain menghendaki PKS lebih terbuka dan bersedia membuka komunikasi politik dengan partai manapun.

Ujicoba untuk menjadi terbuka nampaknya tidak berhasil. Ijtihad ini hanya berhasil mempertahankan suara para kader plus sedikit tambahan suara para simpatisan. Ijtihad ini pun membuat PKS tidak lagi menjadi unik. Sebagai suatu partai yang paling bersinar diantara partai Islam lainnya, PKS seharusnya mempertahankan keunikannya sebagai Partai Kader dan Partai Dakwah. Prosesnya mungkin akan menjadi lebih lama, karena ini adalah kompetisi demokrasi. Kompetisi dimana suara rakyat disamakan dengan suara Tuhan (Naudzubillah). Keunikan PKS yang khas dan berani berbeda adalah tampilan yang cukup menarik dalam kontes demokrasi. Setidak-tidaknya ini membedakan PKS dengan partai Islam lainnya. Keterbukaan yang dilontarkan seharusnya lebih focus pada penerimaan partai terhadap golongan lain bukan pada perubahan tampilan. Keterbukaan partai untuk menerima yang merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu seharusnya jangan sekali-kali dilakukan dengan merubah platform. Jelas sekali PKS menampilkan iklan-iklan wanita yang tidak berjilbab atau iklan-iklan yang justru sama sekali menghilangkan jati diri PKS. Luntur, lentur dan pragmatis.

Setidaknya ada hikmah besar pasca kegagalan ini. PKS harus berbenah diri. Pengalaman Partai politik Islam di Indonesia bak bunga yang layu sebelum benar-benar mekar. Akankah PKS seperti itu, wallahu A’lam bishawab. Namun begitulah dakwah, bagaimanapun caranya akan menemui bentuk dan jalannya sendiri. PKS boleh saja mengklaim sebagai Partai Dakwah tetapi Dakwah sama sekali bukan PKS.