Republik Ironi


Anda mungkin pernah mendengar suatu negara bernama Republik Mimpi, negara tetangga Indonesia. Sebuah negara hasil kreasi insan media televisi swasta nasional yang digadangi oleh salah satu dosen ilmu komunikasi di Universitas Indonesia. Di Negeri ini segala harapan dan cita-cita Indonesia digantungkan. Segalanya di impikan seindah dan sesempurna mungkin. Namanya juga impian, sangat jauh panggang dari api.

Kalau mereka asyik bermimpi tentang indahnya ber-Indonesia, namun hari ini saya, mungkin juga untuk beberapa hari yang berkelanjutan, merasakan betapa Indonesia pada saat ini tak lebih dari sekedar Republik Ironi. Penegakan hukum di Indonesia mewakili begitu besar ironisme berkelanjutan di Republik ini. Saya begitu terhenyak bahkan kaget setengah percaya ketika Kepolisian RI sedikit demi sedikit mulai mengungkap dalang pembunuhan Direktur PT. PRB. Dugaan terlibatnya beberapa nama yang berasal dari kalangan yang begitu dikenal oleh publik semakin menambah ironisme penegakan hukum di negeri ini. Indonesia sudah bak film-film holywood. Begitu banyak intrik, trik dan konspirasi. Nyawa sepertinya sudah tak begitu banyak berarti. Pembunuh bayaran berkeliaran. Bukan sekedar penjahat kelas teri atau kelas ece-ece tapi sudah profesional dan expert menggunakan senjata Api.
Dugaan terlibatnya seseorang berinisial AA yang menjadi pimpinan lembaga super body dalam peperangan melawan korupsi adalah bukti ironisme di Republik Ini. Seseorang yang dipuji-puji sebagai Man of the Year karena keberaniannya dalam pemberantasan korupsi, diduga terlibat dalam kasus pembunuhan yang cukup kejam. Ditambah lagi, pembunuhan ini disinyalir bermotifkan cinta segitiga, ah benar-benar ironis. Seseorang sekelas AA harus terpeleset hanya karena cinta segitiga dengan seorang Caddy Golf.

AA memang ditakdirkan menjadi manusia kontroversial. Pria kelahiran Pangkal Pinang Tahun 1953 ini, sejak awal pencalonannya menjadi ketua KPK telah mengundang berbagai kontroversi. Track recordnya sebagai seorang jaksa banyak yang mempertanyakan. Ketidakberaniannya mengeksekusi Anggota DPRD Sumatera Barat yang telah divonis bersalah dalam korupsi berjamaah, serta keterlambatannya dalam mengeksekusi Tommy Soeharto yang berakibat Tomy Soeharto melarikan diri adalah beberaapa hal yang membuat masyarakat ragu AA dapat memimpin lembaga sekelas KPK.

Pro kontra dan kontroversi nyatanya tidak menggoyahkan Komisi III DPR RI untuk mendapuknya sebagai pimpinan KPK. Keraguan publik pun di jawabnya dengan menangkap beberapa pejabat publik karena dugaan korupsi. Al Amin Nur Nasution, Aulia Pohan, rekan satu Korpsnya Urip Tri Gunawan merupakan pihak-pihak yang menjadi korban kesungguhan AA dalam memberantas Korupsi. Namun sekali lagi Ironis memang, namanya disebut-sebut sebagai salah satu aktor intelektual (intelectual dader) dalam pembunuhan direktur PT. PRB Nasrudin.

Menarik apa yang dikatakan oleh Hidayat Nurwahid pada saat diwawancarai oleh wartawan tentang tanggapannya mengenai kasus ini. "Tentu saja praduga tak bersalah harus diutamakan dalam penegakan hukum dan semestinya penegakan hukum harus dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mencapai keadilan dan bukan karena motif politik, balas dendam pribadi dan atau golongan, persaingan antar korps dan mendulang popularitas". Mungkinkah ini akar dari semuanya. Ketidakikhlasan menjadikan segala sesuatu menjadi kurang berkah. Ketidakikhlasan berarti bekerja bukan untuk mengharapkan ridho Tuhan. Coba kita perhatikan betapa Kejaksaaan melalui Kapuspenkumnnya begitu bernafsu untuk melakukan pencekalan terhadap AA, mengumumkan AA adalah tersangka padahal status panggilan pemeriksaan AA adalah sebagai saksi dan Kejaksaan sama sekali tidak berhak mengumumkan seseorang menjadi tersangka. Ah balas dendamkah ini.

Kalaulah ironisme penegakan hukum ini berkelanjutan, lalu kepada siapa kita-kita ini, rakyat kecil kaum proletar harus meminta keadilan. Kalaulah sang penegak hukum dan kriminal adalah dwi tunggal lalu apakah Dewi keadilan telah benar-benar buta dan sama sekali tidak bisa melihat dimana keadilan. Wallahu A'lam.